

7 November 2020 lalu, mengutip dari Republika.id, sejumlah tokoh keluarga besar dan pencinta Masyumi menghadiri acara yang berlangsung di Aula DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia), kehadiran mereka untuk menghadirkan kembali partai Islam yang pernah dilarang di Indonesia pada tahun 1960. Dalam acara silaturrahmi tersebut di sepakati pembentukan Panitia Persiapan Pendirian Partai Islam Ideologis (P4II). Jeffry Ahmad Kurniadi menerangkan rencana pendirian parpol Masyumi, umat Islam belum belum terakomodasi oleh partai-partai Islam yang ada hingga membutuhkan partai baru. Mengangkat nama Masyumi karena menurutnya Masyumi merupakan partai yang benar-benar berpolitik santun, tercatat dalam sejarah.
Ketika Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta tanggal 8 dan 7 November 1945, Masyumi dianggap menjadi partai politik bagi umat Islam satu-satunya. Deliar Noer, dalam Partai Islam Di Pentas Nasional, menjelaskan bahwa dari semenjak berdirinya tahun 1945-1960, masalah struktur dan organisasi Masyumi menjadi pembahasan dari kongres ke kongres. Pembahasan tersebut kadang menghasilkan keputusan yang susah diambil sebelumnya, kadang mengagnti yang sebelumnya. Masalah hubungan anggota Istimewa (yaitu organisasi yang menjadi anggota Masyumi) tidak pernah selesai dibicarakan.
Dengan sejarahnya yang panjang di pentas politik nasional Indonesia, diakui atau tidak, Masyumi merupakan partai politik Islam pertama, di mana mata rantai partai politik hari ini bersambung kepadanya. Dihadirkannya kembali Masyumi di era milenium ketiga ini disambut baik oleh partai-partai Islam seperti PKS, PPP, dan PBB.
Pandangan baik itu direspon oleh Yusril Ihza Mahendra, Ketua PBB, mengutip tirto.id, menerangkan bahwa mendirikan partai baru apalagi berideologi Islam sangat sulit di Indonesia. Tidak hanya Yusril, peneliti politik Islam dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Wasisto Raharjo Jati, memprediksi Masyumi baru tak bakal punya masa depan, mirip seperti Partai Masyumi Baru yang muncul di Pemilu 1999 dan hanya mendapatkan satu kursi saja di DPR RI dan setelahnya tenggelam. Malah mungkin lebih parah karena sistem pemilu sekarang jauh lebih ketat dan kompleks ketimbang 1999.
Tetapi justru Masyumi Baru tersebut akan mendapatkan hati ummat manakala bahasa politik tidak hanya bahasa dakwah saja. Dalam pandangan Kuntowijoyo, menegaskan bahwa bahasa dakwah tidak efektif menjadi bahasa politik. “Buktinya, umat selalu kalah bersaing, baik dalam politik praktis maupun intellectual war (ghazw al-fikr, perang pemikiran). Ini terjadi ketika SI-Putih harus bertanding melawan SI Merah memperebutkan massa buruh dan tani pada 1920-an. Marxisme yang punya jam terbang lebih lama, punya kosa ata khusus, dan punya jaringan internasional yang lebih rapih, bukanlah lawan umat Islam yang baru coba-coba politik. Juga ketika partai-partai Islam dibabat habis pada zaman Orba. Partai-partai politik Islam selalu too little (terlalu kecil), too late (terlalu terlambat). Bahasa dakwah mungkin cocok untuk masyarakat agraris, tetapi jelas tidak sesuai untuk masyarakat industrial. Kita memerlukan bahasa politik yang baru”
Di tengah situasi yang ruwet bernama nomad political space yaitu suatu pertualangan politik dimana para politikus berpetualang dan dengan mudah menukar pakaian: simbol, identitas, dan ideologi menjadikan politik hanya tempat persinggahan untuk merealisasikan kepentingan pribadi. Belum lagi ironi politik yang terjadi di Lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang terbawa oleh arus fantasi dan ilusi-ilusi gaya hidup yang jauh bahkan tak memiliki kontak lagi dengan realitas rakyat.
Yasraf Amir Piliang dalam Transpolitika: Dinamika Politik Di Dalam Era Virtualitas, mengatakan, bahwa perkembangan politik Indonesia mengalami nomadisme negatif yang menjadikan hilangnya sportivitas, dan etika politik bahkan mengakibatkan hilangnya fondasi metafisis dan transden, yang akibatnya politik bangsa Indonesia menjadi dangkal, banal, dan hampa makna.
Sebelum kata KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) terungkap, para pemimpin kita berdandan dengan sederhana malah bisa jadi dasi dan jas itu-itu saja, rumah merekapun sederhana jauh dari kemewahan. Seorang tokoh Masyumi yang pindah ke partai Nahdatul Ulama (NU), yaitu Subarjo, ketika terbaring sakit di rumahnya yang penuh buku -tokoh bangsa dahulu memang tak lepas dari membaca- tidak bisa ke rumah sakit karena tak memiliki uang. Kemudian Hatta menelpon Rumah Sakit Cipto mangunkusumo, barulah Subarjo di rawat disana.
Para aktor politik dahulu menjalin hubungan dengan rukun, perbedaan pendapat tidak merusak hubungan mereka, malah mereka biasa berkumpul sehari-hari makan di kafe perlemen dan konsitituante. Romantis sejarah ini tentunya yang kita harapkan sekarang.
Tentu, di zaman milenium ketiga ini, pentas politik yang mengalami nomadisme, absruditas, dan ironi membutuhkan politik yang akhlakhul karimah (moralitas) publik dan politik, membela kaum teraniaya (mustad’afin), dan menjalankan mekanisme politik yang baik: demokrasi, HAM (Hak Asasi Manusia), rule of law (aturan dalam hukum), dan civil society (penduduk sosial) dijadikan sebagai jihad melawan hawa nafsu.
Kehadiran Masyumi Baru ini, setidaknya mengingatkan rakyat Indonesia betapa banyak jasa umat Islam dalam sejarah bangsa, yang lalu dibuyarkan, seperti kata Kuntowijoyo. Di antaranya adalah jasa Mosi Intergal yang hilang dalam sejarah, Sjafruddin Prawiranegara yang digelapkan dalam sejarah sebagai Presiden PDRI, dan Burhanuddin Harahap sebagai penyelenggara demokrasi pemilu I dilupakan, ketiga tokoh tersebut adalah tokoh Masyumi.
Sebagai hadiah malaikat menanyakan
Apakah aku ingin berjalan di atas mega
Dan aku menolak
Karena kakiku masih di bumi
Sampai kejahatan terakhir dimusnahkan
Sampai dhuafa dan mustadh’afin
Diangkat Tuhan dari penderitaan
(Kuntowijoyo, Makrifat Daun Daun Makrifat).













