Terjadi khilafiyah dari kalangan ulama terkait aurat laki-laki. Sebagian ada yang berpendapat paha laki-laki termasuk aurat. Sebagian lain berpendapat paha laki-laki tidak termasuk aurat. Baik pendapat yang pertama maupun yang kedua, masing-masing memiliki argumentasinya yang kuat.
Bagi yang berpendapat bahwa paha merupakan aurat laki-laki, berlandaskan kepada dalil-dalil berikut ini:
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَحْشٍ، خَتَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى مَعْمَرٍ بِفِنَاءِ الْمَسْجِدِ مُحْتَبِيًا كَاشِفًا عَنْ طَرَفِ فَخِذِهِ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «خَمِّرْ فَخِذَكَ يَا مَعْمَرُ؛ فَإِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ»
Dari Muhammad bin Jahsy, ipar Nabi saw, “Nabi saw pernah melewati Ma’mar yang sedang berada di halaman depan masjid; sambil duduk ia memeluk lututnya sehingga sebagian pahanya terlihat. Lalu Nabi saw bersabda, “Tutupilan pahamu wahai Ma’mar, karena paha termasuk aurat”. (H.R. Ahmad no. 290)
Hadits di atas dengan jelas menyebutkan bahwa paha laki-laki merupakan aurat. Sehingga memberikan konsekuensi hukum bagi mukallaf bahwa menutup paha merupakan suatu kewajiban.
Sedangakan bagi yang berpendapat paha laki-laki bukan merupakan aurat berpegang kepada hadits berikut:
عَنْ أَنَسٍ ” أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَا خَيْبَرَ، فَصَلَّيْنَا عِنْدَهَا صَلَاةَ الْغَدَاةِ بِغَلَسٍ، فَرَكِبَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَكِبَ أَبُو طَلْحَةَ وَأَنَا رَدِيفُ أَبِي طَلْحَةَ، فَأَجْرَى نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي زُقَاقِ خَيْبَرَ، وَإِنَّ رُكْبَتِي لَتَمَسُّ فَخِذَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ حَسَرَ الْإِزَارَ عَنْ فَخِذِهِ حَتَّى إِنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ فَخِذِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ..
Dari Anas, “Bahwasannya Rasulullah saw pernah berperang di Khaibar. Lalu kami mengerjakan shalat shubuh pada waktu masih gelap. Kemudian Nabi saw dan Abu Thalhah naik sedangkan aku membonceng Abu Thalhah. Lalu Nabi melewati jalan sempit di Khaibar, sehingga kedua lututku bersentuhan dengan paha Nabi saw. Nabi pun menyingkapkan kain sarung dari pahanya hingga aku melihat putihnya paha Nabi saw.” (H.R. Al-Bukhari no. 371)
Hadist di atas pun dengan jelas menyebutkan bahwa paha laki-laki bukan aurat. Sehingga memberikan konsekuensi hukum bagi mukallaf bahwa tidak ada kewajiban untuk menutup paha.
Kedua pendapat di atas memiliki konsekuensi hukumnya masing-masing. Bagi yang berpendapat bahwa paha laki-laki itu aurat, maka permainan seperti sepak bola, bulu tangkis, tenis meja, dan yang semisal dengannya yang -baik sengaja atau tidak- memperlihatkan pahanya, merupakan pelanggaran terhadan hadits. Sehingga wajib bagi para pemain untuk memakai celana panjang agar terhindar dari larangan Nabi saw untuk tidak memperlihatkan pahanya. Sedangkan bagi pendapat yang menyatakan paha laki-laki bukan aurat, konsekuensinya tidak seketat seperti pendapat pertama. Lalu bagaimana kedudukan kedua hadits di atas dalam tinjauan ahli hadits? Berikut pemaparannya.
Analisa Sanad
Jalur-jalur periwayatan hadits tentang paha adalah aurat berpangkal pada sahabat Muhammad bin Jahsy, Ibnu Abbas, Ali bin Abi Thalib, Jarhad, dan Ma’mar. Dari keseluruhan jalur tersebut tidak terlepas dari kritik para ahli hadits. Berikut penjelasannya:
Jalur Muhammad bin Jahsy
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ، عَنِ الْعَلَاءِ، عَنْ أَبِي كَثِيرٍ مَوْلَى مُحَمَّدِ بْنِ جَحْشٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَحْشٍ، خَتَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى مَعْمَرٍ بِفِنَاءِ الْمَسْجِدِ مُحْتَبِيًا كَاشِفًا عَنْ طَرَفِ فَخِذِهِ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «خَمِّرْ فَخِذَكَ يَا مَعْمَرُ؛ فَإِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ»
Telah menceritakan kepada kami Husyaim, telah menceritakan kepada kami Hafs bin Maisarah, dari al-‘Ala dari Abi Katsir maula Muhammad bin Jahsy, dari Muhammad bin Jahsy; iparnya Nabi saw, bahwa Nabi saw pernah melewati Ma’mar yang sedang berada di halaman depan masjid; sambil duduk ia memeluk lututnya sehingga sebagian pahanya terlihat. Lalu Nabi saw bersabda, “Tutupilan pahamu wahai Ma’mar, karena paha termasuk aurat”.
Hadits di atas diriwayatkan dalam Musnad al-Maudhu’i no. 22494, al-Adab lil-Baihaqi no. 22495, Kitab at-Tarikh lil-Bukhari, Makarim al-Akhlak lil-Khara’it, Musnad Ahmad no. 165-166, Mustadrak lil-Hakim no. 738, Syarh Ma’ani al-Atsar no. 474, Mu’jam al-Kabir lit-Tabrani no. 245, dan Ma’rifah ash-Shahabah li Abi Nu’aim no. 164.
Dari analisa sanad pada seluruh jalur periwayatan di atas, semuanya berpangkal pada seorang rawi yang bernama al-‘Ala, yang mana para ulama ahli hadits banyak memberikan penilaian beragam terhadapnya. At-Tirmidzi menilainya sebagai rawi yang tsiqat. Penilaiannya ini berdasar pada koleksi hadits yang ia miliki berupa shahifah yang sangat terkenal di Madinah. Berkenaan dengan hal ini, Muhammad bin Sa’ad berkomentar sebagai berikut:
وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ سَعْدٍ : قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ : وَصَحِيْفَةُ الْعَلَاءِ بِالْمَدِيْنَةِ مَشْهُوْرَةٌ ، وَكَانَ ثِقَةً ، كَثِيْرِ الحديث ، ثبتا ، وتوفي في أول خلافة أبي جعفر
Ibn Sa’d berkata, “Muhammad bin Umar berkata, “Shahifah al-‘Ála di Madinah sangat terkenal, selain itu ia pun seorang rawi yang tsiqah, haditsnya sangat banyak, juga tsabat (kokoh). Ia meninggal dimasa khalifah Abi Ja’far. (Tahdzibul Kamal)
Shahifah atau cacatan pribadinya yang berisi hadits, menjadi salah satu alasan penting dalam penilaian tsiqahnya. Bahkan ketsiqahannya itu karena catatan yang ia terima berasal dari ayahnya. Hal ini sebagaimana yang diutarakan oleh Ibnu ‘Adi:
وقال أبو أحمد بن عدي : وللعلاء نسخ عن أبيه عن أبي هريرة يرويها عنه الثقات ، وما أرى به بأسا
Abu Ahmad bin ‘Adi berkata, “Al-‘Ala memiliki catatan yang ia terima dari ayahnya dari Abu Hurairah, dan sejumlah prawi tsiqah yang mengambil periwayatannya. Dan aku memandang tidak ada masalah dalam periwayatannya. (Tahdzibul Kamal)
Komentar Ibnu ‘Adi di atas mengindikasikan katsiqahanya disebabkan cacatan yang ia terima berasal dari ayahnya. Akan tetapi, khusus pada jalur periwayatan ini, al-‘Ala menerima periwayatannya dari Abi Katsir, bukan dari ayahnya. Dari sini terdapat kejanggalan dalam periwayatannya ini. Bahkan Syu’bah dan Imam Malik yang biasa meriwayatkan dari ayahnya sebagai bukti akan katsiqahan dalam catatannya, tidak ikut meriwayatkannya. Dari sinilah kemudian terdapat beberapa kritik terhadap al-‘Ala.
Abu Hatim dalam Jarh wa Ta’dilnya memberikan kritikannya sebagai berikut:
عبد الرحمن قال : قيل لأبي : ما قولك في العلاء بن عبد الرحمن ؟ قال : روى عنه الثقات وأنا أنكر من حديثه أشياء
Abdurrahman berkata, “Ayahku ditanya, “Bagaimana pendapatmu tentang al-‘Ála bin Abdurrahman?” Abu Hatim menjawab, “Telah meriwayatkan darinya rawi tsiqah, namun aku memandang munkar pada sebagian haditsnya.”
Ibnu Hajar menilanya sebagai rawi yang shaduq (jujur), namun terkadang suka keliru. Bahkan lebih dari itu, Ibnu Ma’in tidak menjadikan haditsnya sebagai shahih. Di sini menunjukan bahwa kelemahan al-‘Ala terjadi saat ia meriwayatkannya tanpa melalui ayahnya. Maka dari itu, sampailah pada kesimpulan, status hadits pada jalur ini adalah dha’if muhtamal; dha’if ringan; dha’if yang derajatnya bisa naik menjadi hasan lighairihi.
Jalur Ibn Abbas
حَدَّثَنَا وَاصِلُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى الكُوفِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنْ أَبِي يَحْيَى، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: الْفَخِذُ عَوْرَةٌ
Telah menceritakan kepada kami Washil bin Abdul A’la al-Kufi ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam, dari Isra’il, dari Abu Yahya, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dari Nabi saw ia bersabda, “Paha laki-laki itu adalah aurat.”
Hadits di atas diriwayatkan dalam Musnad al-Maudhu’i no. 24, Musnad Ahmad no. 2516, dan Sunan Tirmidzi no. 3026.
Hadist ini dinilai sangat dha’if dan munkar. Pangkal kedha’ifan dan kemunkaran hadits ini ada pada rawi yang bernama Abu Yahya. Rawi yang disebut dengan nama Dzandzan, Dinar, Abdurrahman, dan sebutan lainnya ini tidak terlepas dari kritikan para ahli hadits.
Yahya bin Ma’in dan an-Nasa’i menilai hadinya dha’if; tidak kuat. Ahmad bin Hanbal bahkan menilai haditsnya sangat munkar. Ibnu Hibar berpendapat, “Dia (Abu Yahya) buruk sekali hafalannya dan banyak sekali kekeliruannya, sehingga dinilai sebagi rawi yang tidak ada ta’dil dalam periwayatannya. Berkenaan dengan ini, Ibnu ‘Adi berkomentar sebagai berikut:
قال الشيخ : وروى عن مجاهد جماعة ؛ منهم : الأعمش ، وليث بن أبي سليم ، ومنصور بن المعتمر ، وغيرهم . ومن حديث أبي يحيى القتات أغرب ، ولا يرويه عنه غير حماد بن شعيب ، وعن حماد زيد بن أبي الزرقاء
Asy-Syaikh berkata, “Sekelompok rawi telah meriwayatkan dari Mujahid, di antarana ialah al-A’masy, Laits bin Abi Sulaim, Manshur bin al-Mu’tamir dan yang lainnya. Sedangkan Hadis yang berasal dari Abu Yahya al-Qattat adalah periwayatan yang paling Gharib; tidak ada yang meriwayatkan darinya selain Hammad bin Syu’aib sedangkan dari Hammad tidak ada yang meriwayatkan selain Zaid bin Abi al Zarqaa’. (Al-Kamil fi adh-Dhu’afa)
Dari keterangan di atas, maka hadis ini dinilai dha’if nakarah. Dan disebabkan kegharibannya pula hadits ini tidak bisa menguatkan atau dikuatkan.
Jalur ‘Ali bin Abi Thalib
حدَّثنا عليُّ بنُ سهْلٍ الرمليُّ، حدَّثنا حجَّاجٌ، عن ابنِ جُريج، قال: أُخبرت عن حَبيبِ بنِ أبي ثابتٍ، عن عاصم بنِ ضَمْرةَ عن عليٍّ، قال: قالَ رسولُ الله – صلَّى الله عليه وسلم -: “لا تَكْشِفْ فَخِذَكَ، ولا تنظر إلى فَخِذِ حيٍّ ولا مَيِّتٍ“
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Sahl ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij ia berkata, “Telah dikabarkan kepadaku dari Habib bin Abi Tsabit, dari ‘Ashim bin Dhamrah dari ‘Ali ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kami menyingkapkan pahamu dan janganlah kamu memandang paha orang yang hidup dan yang mati.”
Hadits di atas diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud no. 4015, Sunan al-Baihaqi no. 3357, dan Sunan Daruquthni no. 874 dengan sedikit redaksi yang berbeda.
Hadits di atas dinilai sangat dha’if sekali. Kedha’ifan hadits ini disebabkan dua orang rawi yang bernama Juraij dan Habib. Bagi para peneliti hadits, rawi Juraij tidak asing bagi mereka. Juraij adalah seorang rawi yang memiliki maqam tsiqah. Akan tetapi, ia selali melakukan tadlis terhadap suatu hadits. Sampai-sampai Ibnu Hajar memberikan peringkat ketiga dari ketadlisannya. Bahkan ad-Daruquthni berkata, “Jauhilah tadlisnya Ibn Juraij, karena ia adalah seburuk-buruknya pentadlis; ia tidak bertadlis kecuali pada orang yang ia dengar dari rawi yang dijarh seperti Ibrahim bin Abi Yahya, Musa bin Ubaid dan selain keduanya. (Tahdzibut-Tahdzib)
Demikian halnya dengan rawi yang bernama Habib. Terjadi keterputusan sanad antara Habib dan rawi yang bernama ‘Ashim. Bahkan menurut Ibnul Mulaqin, keterputusannya itu terjadi pada dua tempat; antara Habib dengan ‘Ashim; dan antara Habib dengan Juraij. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hadits ini pun dha’if sekali dan tidak bisa dijadikan hujjah. Begitupun dengan jalur periwayatan lainnya, semuanya tidak terlepas dari kecacatan.
Dengan begitu, pendapat yang menyatakan bahwa paha laki-laki bukanlah aurat merupakan pendapat yang kuat. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits yang diriwayatan oleh al-Bukari melalui periwayatan sahabat Anas bin Malik.
وَإِنَّ رُكْبَتِي لَتَمَسُّ فَخِذَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ حَسَرَ الْإِزَارَ عَنْ فَخِذِهِ حَتَّى إِنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ فَخِذِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sungguh kedua lututku bersentuhan dengan paha Nabi saw. Kemudian beliau menyingkapkan kain sarung dari pahanya hingga aku melihat putihnya paha Nabi saw” (HR. Bukhari, no. 371)
WaLlahu A’lam