“Demi keagungan-Ku, Aku tidak akan menghimpun bagi hamba-Ku dua ketakutan dan dua kemanan. Jika ia merasa aman dari siksa-Ku di dunia maka akan Aku jadikan ia merasa takut kelak di akhirat. Namun, jika ia merasa takut terhadap siksa-Ku ketika di dunia maka Aku akan jadikan ia merasa aman kelak di akhirat” (Hadis Qudsi. H.R Ibnu HibbanBab Husnudz Dzan bil-Lah. No 640. Dinilai Hasan oleh Syaikh al-Arnauth)
Seorang hamba yang melakukan kemaksiatan bisa jadi bukan karena tidak mengetahui bahwa perbuatan itu merupakan bagian dari dosa. Namun, bisa jadi karena telah hilang rasa takut di dalam dirinya sehingga ia berani menyentuh perbuatan dosa itu. Semakin lemah ketakutan seorang hamba kepada Allah maka semakin mudah setan masuk mengalir dalam setiap aliran darahnya.
Oleh karena itu wajar Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam saja ketika bersama para sahabat seringkali meminta kepada Allah agar dianugerahkan rasa takut kepada-Nya.
عَنْ ابْنَ عُمَرَ، قَالَ: قَلَّمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ مِنْ مَجْلِسٍ حَتَّى يَدْعُوَ بِهَؤُلَاءِ الدَّعَوَاتِ لِأَصْحَابِهِ: «اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ،
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, dahulu nabi r Pernah berdiri di satu majlis mendo’akan para sahabatnya, ‘Ya Allah curahkanlah kepada kami rasa takut yang akan menghalngi kami bermaksiat kepadamu’ (H.R. at-Tirmidzi. No 3052).
Jika benar seorang hamba itu memiliki rasa takut di dalam hatinya maka pasti tidak akan pernah berani menyntuh kemaksiatan sekecil apapun. Ketika Fudhail bin ‘Iyadh rahimahu-Llah ditanya apakah ia takut kepada ‘Allah, maka ia menjawab,
فَاسْكُتْ فَإِنَكَ إِنْ قُلْتُ لَا كَفَرْتُ وَإِنْ قُلْتُ نَعَمْ كَذَبْتُ
“Diamlah jika aku mengatakan tidak maka aku telah kufur kepada Allah U namun jika aku meangatakan iya maka aku telah berdusta. (Ihya ‘Ulumiddin, IV/157)
Jika begitu mulianya rasa takut itu, lalu apa sebenarnya rasa takut itu? Imam al-Ghazali menjelaskan sebagai berikut.
أَنَ الخَوْفَ عِبَارَةٌ عَنْ تَأَلُمِ القَلْبِ وَإحْتِرَاقِهِ بِسَبَبِ تَوُقُعِ مَكْرُوْهٍ فِي الإِسْتِقْبَالِ
“Rasa takut itu adalah tersentuh dan terbakarnya hati disebabkan khawatir terjatuh kepada yang tidak disukai di masa yang akan datang. (Ibid. Hal. 155)
Banyak ayat al-Qur’an yang menyinggung keutamaan rasa takut ini, di antaranya Allah memerintahkan kita semua agar memiliki rasa takut, karena rasa takut ini diantara ciri kesempurnaan kita.
{ إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (175)
“Sesungguhnya mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman.” (Q.S Ali Imran [3]: 175)
Begitu pula al-Qur’an menjelaskan diantara amalan hati yang akan mengantarkan kita semua ke dalam surga Allah adalah rasa takut terhadap siksa Allah.
وَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَسَاءَلُونَ (25) قَالُوا إِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ (26) فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ (27)
Dan sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain saling bertanya. Mereka berkata, “Sesungguhnya kami dahulu sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab).” Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dialah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang. (Q.S at-Thur [52]: 25-27)
Ibnu ‘Abbas memberikan penjelasan tentang ayat ini,
يَتَذَاكَرُوْنَ مَا كَانُوا فِيْهِ مِنَ التَعَبِ وَالخَوْفِ فِي الدُنْيَا .
Para ahli surga kelak di dalam surga saling mengingat tentang lelah, letih dan takut mereka ketika beramal di dunia. (Tafsir al-Baghawi, VII/390)
Kata Musyfiq dalam ayat ini, al-Qur’an mengungkapkannya dengan bentuk Isim (kata benda). Dalam kaidah balaghiyah jika suatu kata diungkapkan dalam bentuk isim maka bermakna ats-Tsubut wad Dawam (Tetap dan terus menerus) (al-Balaghah al-Muyassarah: 31). Rasa takut ini menunjukan bukan timbul sesekali saja, namun para ahli surga ketika berada di dunia mereka benar-benar merawat rasa takut itu bersama keluarga mereka, sehingga Allah memberikan anugerah kemudahan amal dan perlindungan dari siksa neraka.
Ayat di atas juga menjadi Isyarat bahwa, rasa takut itu bukan hanya menjadi tameng dari perbuatan maksiat, namun juga akan mendorong seorang yang beriman untuk bersemangat dan bersungguh sungguh dalam beramal. Fudhail bin ‘Iyadh pernah mengatakan,
مَنْ خَافِ اللهِ دَلَهُ الخَوْفُ عَلَى كُلِ خَيْرٍ
“Siapa yang takut kepada Allah, maka rasa takut itu akan mebimbingnya kepada segala bentuk kebaikan”. (Ihya ‘Ulumiddin, IV/161)
Ketika rasa takut ini mampu menjaga seorang dari maksiat dan mendorong untuk banyak beramal shalih, maka kelak Allah membalasnya disebabkan rasa takut ini dengan pahala yang berlimpah kelak di dalam surga. Allah berfirman,
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ (46)
“Bagi orang yang takut kepada kedudukan Rabnya maka baginya dua surga” (Q.S ar-Rahman [55]: 46)
Terkait dua surga dalam ayat ini, Muhammad bin ‘Ali menjelaskan,
جَنَةٌ لِخَوْفِهِ رَبِهِ وَجَنَةٌ لِتَرْكِهِ شَهْوَتَهُ
Satu surga karena ia takut kepada Rabnya dan satu surga karena ia meninggalkan syahwatnya (Tafsir al-Baghawi, VII/451).
Rasa takut inilah yang akan menajadi bekal terbaik ketika di dunia agar mendapatkan kebahagaiaan kelak di akhirat. Imam al-Ghazali memberikan rasionalisasi sebagaimana berikut, “Jika puncak kebahagian seorang hamba itu adalah kelak ketika bertemu dengan Allah, maka tidak ada yang mampu mengantarkan seorang hamba untuk meraih puncak kebahagiaan itu kecuali dengan mencintai Allah ketika di dunia. Seorang tidak akan mampu mencintai Allah jika itu tidak mengenal Allah. dan seorang tidak akan mengenal Allah jika ia tidak banyak mengingat, merenungkan dan memikirkan Allah. dan seorang tidak akan dapat mengingat Allah kecuali ia meninggalkan kenikmatan dunia. Seorang tidak akan mampu meninggalkan kenikmatan dunia jika ia tidak menahan syahwat yang ada di dalam dirinya. Sedangkan syahwat itu tidak akan pernah bisa dibendung kecuali mesti dibakar dengan rasa takut kepada Allah” (Ihya’ ‘Ulumiddin, IV/160). Wa-Llahu A’lam bis Shawwab.