عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Rasulullah saw apabila hendak i’tikaf, shalat shubuh, kemudian beliau masuk ke tempat khusus i’tikafnya.”
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ اعْتَكَفْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ فَلَمَّا كَانَ صَبِيحَةَ عِشْرِينَ نَقَلْنَا مَتَاعَنَا
Dari Abu Sa’id ra, ia berkata: “Kami i’tikaf bersama Rasulullah saw di sepuluh malam pertengahan. Maka pada shubuh hari ke-20 kami memindahkan barang-barang keperluan kami.”
Tautsiq Hadits
Dua hadits di atas sering dijadikan dalil oleh sebagian kalangan bahwa i’tikaf dimulai setelah shubuh hari ke-21 dan berakhir setelah shubuh hari terakhir (hari ke-29 atau 30). Akan tetapi pendapat ini dinilai lemah oleh jumhur ulama karena pemahaman yang benar dari kedua hadits di atas tidak demikian.
Hadits ‘Aisyah ra di atas diriwayatkan dalam: (1) Shahih Muslim bab mata yadkhulu man aradal-i’tikaf no. 2842, (2) Sunan Abi Dawud bab al-i’tikaf no. 2466, (3) Sunan at-Tirmidzi bab al-i’tikaf no. 791.
Sementara hadits Abu Sa’id ra di atas diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari bab man kharaja min i’tikafihi ba’das-shubhi no. 2040
Syarah Hadits
Berkaitan dengan ‘Aisyah ra di atas Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Shahih Muslim sebagai berikut:
اِحْتَجَّ بِهِ مَنْ يَقُول: يَبْدَأ بِالِاعْتِكَافِ مِنْ أَوَّل النَّهَار ، وَبِهِ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ ، وَاللَّيْث فِي أَحَد قَوْلَيْهِ. وَقَالَ مَالِك وَأَبُو حَنِيفَة وَالشَّافِعِيّ وَأَحْمَد: يَدْخُل فِيهِ قَبْل غُرُوب الشَّمْس إِذَا أَرَادَ اِعْتِكَاف شَهْر أَوْ اِعْتِكَاف عَشْر، وَأَوَّلُوا الْحَدِيث عَلَى أَنَّهُ دَخَلَ الْمُعْتَكَف وَانْقَطَعَ فِيهِ، وَتَخَلَّى بِنَفْسِهِ بَعْد صَلَاته الصُّبْح، لَا أَنَّ ذَلِكَ وَقْت اِبْتِدَاء الِاعْتِكَاف، بَلْ كَانَ مِنْ قَبْل الْمَغْرِب مُعْتَكِفًا لَابِثًا فِي جُمْلَة الْمَسْجِد فَلَمَّا صَلَّى الصُّبْح اِنْفَرَدَ
Berhujjah dengan hadits ini ulama yang berpendapat bahwa i’tikaf dimulai pada awal siang. Mereka adalah Imam al-Auza’i, ats-Tsauri, dan al-Laits dalam salah satu qaulnya (sementara qaul lainnya dari awal malam). Sementara Imam Malik, Abu Hanifah, as-Syafi’i dan Ahmad menjelaskan: Masuk ke masjid itu sebelum terbenam matahari (maghrib) apabila ia hendak i’tikaf satu bulan atau 10 hari (terakhir). Para ulama tersebut menakwilkan hadits di atas bahwasanya yang dimaksud adalah beliau masuk ke tempat khusus i’tikafnya, beristirahat di sana, dan menyendiri sesudah shalat shubuh. Bukan berarti bahwa itu adalah waktu dimulainya i’tikaf. Dari sejak sebelum maghrib beliau i’tikaf dan menetap di masjid secara keseluruhan. Setelah selesai shalat shubuh baru beliau menyendiri (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim).
Memahami hadits di atas dengan ta`wil sebagaimana dijadikan pilihan Imam empat madzhab harus ditempuh karena dalam hadits lain jelas disebutkan Nabi saw memulai i’tikaf dari sejak maghrib malam ke-21. Haditsnya disampaikan oleh Abu Sa’id al-Khudri ra sebagai berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ كَانَ رَسُولُ اللهِ يُجَاوِرُ فِي رَمَضَانَ الْعَشْرَ الَّتِي فِي وَسَطِ الشَّهْرِ فَإِذَا كَانَ حِينَ يُمْسِي مِنْ عِشْرِينَ لَيْلَةً تَمْضِي وَيَسْتَقْبِلُ إِحْدَى وَعِشْرِينَ رَجَعَ إِلَى مَسْكَنِهِ … ثُمَّ قَالَ كُنْتُ أُجَاوِرُ هَذِهِ الْعَشْرَ ثُمَّ قَدْ بَدَا لِي أَنْ أُجَاوِرَ هَذِهِ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ فَمَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَثْبُتْ فِي مُعْتَكَفِهِ … وَقَدْ رَأَيْتُنِي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ فَاسْتَهَلَّتْ السَّمَاءُ فِي تِلْكَ اللَّيْلَةِ فَأَمْطَرَتْ فَوَكَفَ الْمَسْجِدُ فِي مُصَلَّى النَّبِيِّ لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ فَبَصُرَتْ عَيْنِي رَسُولَ اللَّهِ وَنَظَرْتُ إِلَيْهِ انْصَرَفَ مِنْ الصُّبْحِ وَوَجْهُهُ مُمْتَلِئٌ طِينًا وَمَاءً
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra: Rasulullah saw i’tikaf pada bulan Ramadlan dari sejak 10 hari pertengahan (ketika beliau belum diberitahu bahwa lailatul-qadar pada 10 hari terakhir). Pada sore hari ke-20 menjelang malam ke-21 beliau kembali ke tempat i’tikafnya… beliau bersabda: “Saya i’tikaf pada 10 hari pertengahan ini. Kemudian tampak jelas bagiku (aku diberi wahyu) untuk i’tikaf pada 10 hari terakhir. Siapa yang ingin i’tikaf bersamaku, tetaplah di tempat i’tikafnya… Saya diberi wahyu bahwa saya akan sujud di atas air dan tanah.” Maka pada malam itu langit bergemuruh dan turunlah hujan. Masjid bocor pada tempat shalat Nabi saw di malam ke-21. Mataku memandang Rasulullah saw dan melihatnya selesai dari shalat shubuh dalam keadaan wajah yang penuh dengan air dan tanah (Shahih al-Bukhari bab taharri lailatil-qadr no. 2018).
Hadits di atas menyebutkan bahwa Nabi saw sudah bersiap-siap i’tikaf dari sore hari tanggal 20 Ramadlan, sekaligus memerintahkan shahabat yang akan i’tikaf untuk bersiap-siap i’tikaf dari sejak itu. Lebih jelasnya lagi hadits di atas menyebutkan bahwa pada malam 21 Nabi saw sudah i’tikaf di masjid, yang kebetulan pada saat itu turun hujan besar. Hadits ini juga menunjukkan bahwa Lailatul-Qadar untuk tahun itu terjadi pada malam ke-21 di saat turun hujan tersebut, sebab Nabi saw diberi wahyu bahwa shubuhnya beliau akan sujud di atas tanah dan air. Akibat hujan tersebut maka atap tempat shalat Nabi saw bocor dan tempat sujud Nabi saw basah, sehingga bercampur dengan tanah. Di atas tanah yang basah itulah Nabi saw sujud pada shalat shubuh sehingga diketahui bahwa Lailatul-Qadar jatuh pada malam harinya, yakni malam ke-21.
Dengan mempertimbangkan hadits-hadits lain yang memerintahkan mencari Lailatul-Qadar pada malam ganjil dari 10 malam terakhir Ramadlan, maka sudah bisa dipastikan malam ke-21 adalah salah satunya. Jadi bisa dipastikan Nabi saw tidak mengabaikan hal yang beliau sendiri memerintahkannya. Pastinya Nabi saw dari malam ke-21 sudah i’tikaf.
Sementara itu terkait hadits Abu Sa’id ra tentang shahabat yang beres-beres dari i’tikaf pada shubuh hari ke-20, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa i’tikaf pada tahap awalnya dilaksanakan pada 10 hari pertama, lalu 10 hari kedua, dan pada akhirnya ditetapkan 10 hari terakhir setelah Nabi saw mendapatkan kepastian dari wahyu bahwa Lailatul-Qadar adanya pada 10 hari terakhir. Maka dari itu empat ulama madzhab sebagaimana dikutip di atas ada yang membolehkan i’tikaf sebulan Ramadlan penuh mengingat Nabi saw juga pernah mengamalkan i’tikaf sebulan penuh. Berikut dalil bahwa Nabi saw pernah secara bertahap i’tikaf dari 10 hari pertama, 10 hari kedua, kemudian diberi wahyu untuk fokus i’tikaf di 10 hari terakhir.
إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ. فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ
“Sungguh aku i’tikaf dari 10 hari pertama untuk mencari malam itu (Lailatul-Qadar), lalu aku beri’tikaf lagi di 10 hari pertengahan. Kemudian aku diberitahu bahwasanya Lailatul-Qadar ada di 10 hari terakhir. Maka siapa di antara kalian yang ingin (melanjutkan) i’tikaf (sampai 10 hari terakhir), maka i’tikaflah.” Orang-orang pun beri’tikaf bersama beliau (Shahih Muslim kitab as-shaum bab fadlli lailatil-qadri no. 2828).
Potongan hadits Abu Sa’id di atas menjelaskan masa i’tikaf ketika diamalkan pada 10 hari kedua. Para shahabat saat itu memindahkan barang-barangnya ba’da shubuh hari terakhir dari 10 hari kedua tersebut. Lebih lengkapnya bisa diketahui dari kelanjutan matan hadits Abu Sa’id ra di atas:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ اعْتَكَفْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ فَلَمَّا كَانَ صَبِيحَةَ عِشْرِينَ نَقَلْنَا مَتَاعَنَا. فَأَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ فَلْيَرْجِعْ إِلَى مُعْتَكَفِهِ فَإِنِّي رَأَيْتُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ وَرَأَيْتُنِي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ فَلَمَّا رَجَعَ إِلَى مُعْتَكَفِهِ وَهَاجَتْ السَّمَاءُ فَمُطِرْنَا
Dari Abu Sa’id ra, ia berkata: “Kami i’tikaf bersama Rasulullah saw di sepuluh malam pertengahan. Maka pada shubuh hari ke-20 kami memindahkan barang-barang keperluan kami. Lalu Rasulullah saw datang kepada kami dan bersabda: ‘Siapa yang hendak melanjutkan i’tikaf, hendaklah ia kembali ke tempat i’tikafnya, karena aku melihat Lailatul-Qadar itu aku akan sujud pada air dan tanah’. Ketika beliau kembali ke tempat i’tikafnya, langit bergemuruh, lalu turunlah hujan…” (kelanjutan haditsnya sama dengan hadits Abu Sa’id ra sebelumnya dimana Nabi saw sujud di shubuh harinya di atas tanah dan air).
Oleh sebagian ulama ini dijadikan dalil bahwa i’tikaf itu berakhir ba’da shubuh. Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, pendapat tersebut sangat lemah, sebab i’tikaf itu siang-malam, jadi kalau 10 hari maka mencakup 10 malam dan 10 siang. Itu artinya i’tikaf harus berakhir pada waktu maghrib dari hari terakhir i’tikaf.
Terkait maksud dari hadits Abu Sa’id ra di atas al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan: Pertama, para shahabat yang i’tikaf di waktu malam saja, ba’da shubuh terakhir langsung berkemas untuk pulang, sebab mereka tidak i’tikaf siang harinya. Atau kedua, para shahabat yang i’tikaf siang malam hanya berkemas, tetapi tidak keluar atau mengakhiri i’tikaf sebelum tiba waktu maghrib. Tujuannya agar ketika tiba waktu maghrib, mereka tinggal pulang dan tidak repot untuk berkemas kembali. Maka dari itu lafazh haditsnya hanya menyebutkan naqalna mata’ana; kami memindahkan barang-barang kami, bukan kharajna; kami keluar masjid/pulang (Fathul-Bari bab man kharaja min i’tikafihi ba’das-shubhi).
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan juga bahwa pengamalan i’tikaf itu bisa malam saja, siang saja, atau yang sempurna siang dan malam. Bagi yang i’tikaf malam saja ia masuk sebelum maghrib malam 21 dan keluar shubuh hari terakhir. Bagi yang i’tikaf siang saja, ia masuk pada waktu shubuh hari 21 dan keluar selepas maghrib hari terakhir. Bagi yang i’tikaf siang dan malam, ia masuk sebelum maghrib malam 21 dan keluar selepas maghrib hari terakhir. Jadi tegasnya, keterangan Abu Sa’id tentang shahabat berkemas di shubuh terakhir di atas kemungkinan besar bagi yang i’tikafnya malam saja atau hanya sekedar berkemas tetapi tidak keluar sampai menunggu maghrib hari terakhir (Fathul-Bari bab man kharaja min i’tikafihi ba’das-shubhi).
Terkait hadits di atas, Imam an-Nawawi juga menjelaskan:
قَالُوا : فِيهِ دَلِيل عَلَى جَوَاز اِتِّخَاذ الْمُعْتَكِف لِنَفْسِهِ مَوْضِعًا مِنْ الْمَسْجِد يَنْفَرِد فِيهِ مُدَّة اِعْتِكَافه مَا لَمْ يُضَيِّق عَلَى النَّاس ، وَإِذَا اِتَّخَذُوهُ يَكُون فِي آخِر الْمَسْجِد وَرِحَابه ؛ لِئَلَّا يُضَيِّق عَلَى غَيْره ؛ وَلِيَكُونَ أَخْلَى لَهُ وَأَكْمَل فِي اِنْفِرَاده
Para ulama menjelaskan: Hadits ini jadi dalil bolehnya seseorang membuat satu tempat i’tikaf khusus untuk dirinya sendiri di masjid yang akan ia jadikan tempat menyendiri selama i’tikafnya, selama tidak merepotkan jama’ah lain. Apabila hendak membuat tempat khusus tersebut seyogianya di belakang masjid atau pinggirnya agar tidak merepotkan jama’ah lain. Demikian juga agar lebih kosong dan maksimal untuk menyendiri (Syarah Shahih Muslim).
Catatan para ulama “tidak merepotkan” jama’ah lain harus dijadikan perhatian karena dalam kelanjutan hadits ‘Aisyah di atas diketahui bahwa Nabi saw pernah sengaja membatalkan i’tikafnya ketika istri-istri beliau ikut i’tikaf dengan membuat tempat-tempat khusus di masjid tetapi itu ternyata jadi merepotkan jama’ah lainnya. Nabi saw marah dan kemudian memerintahkan tempat-tempat i’tikaf itu dibongkar.
Wal-‘Llahu a’lam