Seseorang akan diangkat derajatnya atau akan dimuliakan martabatnya, bilamana ia berlaku sabar dalam menghadapi segala cobaan. Banyak kisah dari para Nabi mengenai kesabaran yang mereka miliki. Di antaranya sang khatimul-Anbiya’; Nabi Muhammad saw, ketika beliau ditawari oleh malaikat penjaga gunung untuk menimpakan gunung kepada masyarakat Thaif yang sudah berlaku kasar terhadap kekasih Allah swt ini, ia malah menolak tawaran tersebut. Dengan hati yang tenang dan sabar beliau menjawab, “Tidak! Aku diutus untuk memberi rahmat bukan membawa azab”. Jawaban mulia itu hanya dapat keluar dari lisan yang sudah teruji kesabarannya dan keluar dari keyakinan kuat yang tertancap dalam hati, sehingga kesabarannya dapat menghantarkannya pada kemuliaan. Kemuliaan itu Nabi saw dapatkan saat beliau diangkat ke Sidratul Muntaha, yang kemudian terkenal dengan peristiwa Isra’ Mi’raj. Selain itu ada pula kisah kesabaran Nabi Ayyub dengan penyakit kulitnya yang amat parah, sampai-sampai setan pun kewalahan karena kuatnya kesabaran Nabi Ayyub ‘alaihis salam. Dan banyak pula kisah orang-orang soleh yang menjunjung tinggi sifat kesabaran.
Sabar pun bukan hanya dalam memaafkan, namun juga dalam hal menerima. Yakni selalu menerima segala sesuatu yang menimpa, pasrah menyerahkan seluruhnya kepada Allah swt dan yakin bahwa Dia-lah sang Maha penolong, sekalipun masalah terbesar sudah berada di depan matanya.
Para Nabi dan orang-arang beriman ketika di hadapkan pada suatu masalah, maka hal pertama yang mereka lakukan ialah bersabar dan memohon pertolongan kepada Allah swt. Karena mereka yakin bahwa segala masalah itu hanya dapat terselesaikan bila disikapi dengan bersabar dan menyerahkannya kepada Allah swt. Mereka pun yakin akan kebesaran janji yang dibisyarahkan (diberikan kabar gembira) bagi kesabaran mereka, yakni kedekatan pertolongan dan kemenangan Allah padanya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah : 153)
Banyak pula dari kalangan sahabat Nabi saw yang meninggal dalam keadaan miskin. Namun ibadah mereka tetap mantap dan terjaga. Salah satunya sahabat Mush’ab bin Umair, yang hidupnya setelah masuk Islam penuh dengan kesulitan. Sampai-sampai pada akhir hayatnya dalam perang Uhud, pakaiannya tidak bisa menutup seluruh badannya, ketika kepalanya ditutup, kakinya terbuka, begitupun sebaliknya; ketika kakinya ditutup, kepalanya terbuka, karena saking keterbatasannya dalam pakaian yang ia miliki. Hal itu rela mereka lakukan karena keyakinan kuat akan balasan yang besar bagi hamba-Nya yang bersabar. Ditambah pula jaminan Nabi saw bagi yang bersabar ditengah hidup yang serba sulit ataupun penyakit keras yang menimpa.
مَنْ صَبَرَ عَلَى لأْوَائِهَا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا أَوْ شَهِيدًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang bersabar atas kesuliatan hidupnya, maka aku akan menjadi pemberi syafa’at dan saksi baginya pada hari kiamat.” (Shahih Muslim no. 3410)
Ironinya, saat ini umat Muslim tidak berkaca kepada para pendahulunya. Ketika suatu permasalahan datang kepada mereka, hal yang pertama dituju ialah dunia, yakni dengan pergi-pergian, nongkrong bersama temannya atau hal lain yang tidak mencerminkan adab seorang mukmin ketika menghadapi masalah, dan mereka pun meyakini dengan hal itulah permasalahan dapat diselesaikan. Hal itu muncul dari sifat jahl mereka terhadap hakikat dari kunci pertolongan, yakni sabar dan shalat. Allah swt banyak menyinggung hal itu dalam kitab-Nya, sebagai petunjuk bahwa segala bentuk penyelesaian juga pertolongan hanyalah datang dari-Nya, bukan dari siapapun.
Perlu juga diketahui, bahwa adanya musibah atau cobaan, merupakan rasa rindu Allah akan hamba-Nya agar ia bertaqarrub; sehingga dapat kembali mengingat Allah; menginsafi segala dosa dan kesalahannya; bermuhasabah terhadap kualitas amalannya. Bahkan bisa jadi bahwa segala ujian yang menimpanya merupakan bentuk kasih saying Allah padanya. Wal-Lahu ‘Alam bish-Shawab