Masyarakat Indonesia ramai dengan munculnya Pengujian Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang diprakarsai oleh RCTI dan iNews Tv. Sebagai korporasi penyiaran swasta terbesar di negeri ini, RCTI dan iNews Tv, selanjutnya disebut pemohon, mengajukan pengujian materil pada Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi:
“Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”
Sedangkan yang dijadikan batu uji di antaranya adalah
- Pasal 27 ayat 1 “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
- Pasal 28D ayat 1 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
- Pasal 28I ayat 2 “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Adapun yang menjadi kerugian konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon atas pengujian a quo, yang mungkin telah terjadi atau potensial terjadi, diantaranya:
- Unequal Treatment, adanya perlakuan yang berbeda akibat nomenklatur yang diatur dalam pasal 1 ayat 2 UU No 32 tahun 2002 antara Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT);
- Penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak terikat pada UU Penyiaran;
- Penyelenggara penyiaran konvensional harus tunduk pada empat hal di antaranya: Izin penyelenggaraan penyiaran, pedoman mengenai isi dan bahasa, pedoman prilaku, dan pengawasan. Sedangkan penyiaran yang menggunakan internet tidak terikat empat hal tersebut.
Sedangkan hal-hal yang dimohonkan kepada Majelis Hakim Konstitusi oleh para pemohon di antaranya adalah:
- Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai dan/atau (2) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran. Sehingga, Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252) selengkapnya berbunyi, “Penyiaran adalah (1) kegiatan pemancarluasan siaran melalui siaran pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut, atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. Dan/atau (2) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran.
Jika memperhatikan dalil-dalil positif serta permohonan para pemohon, secara sederhana dapat dipahami bahwa permohonan para pemohon adalah penambahan norma pada pasal 1 ayat 2 UU No 32 tahun 2002 tentang penyiaran, dengan tambahan klausul atau norma “dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet” dengan keadaan faktual demikian maka sebetulnya permohonan para pemohon bukan meminta tafsir atas dan/atau frasa dari ketentuan pasal 1 ayat 2 tersebut, namun justru meminta norma baru dalam pasal 1 ayat 2. Selain hal itu perlu diperhatikan bahwa pasal 1 ayat 2 tersebut merupakan Ketentuan Umum, maka penambahan norma baru akan menimbulkan subjek hukum dan objek hukum baru dalam penyelenggaraan penyiaran.
Norma yang diatur dalam pasal 1 ayat 2 tersebut merupakan norma definisi yang dipergunakan dalam keseluruhan norma dalam UU a quo bahkan pada setiap peraturan pelaksanaannya. Sehingga apabila pengujian ini dikabulkan oleh Mahkamah akan melahirkan suatu Undang-Undang yang baru karena akan merubah struktur dan makna Undang-Undang penyiaran secara keseluruhan beserta peraturan pelaksananya.
Permohonan pemohon yang menitikberatkan pada penambahan norma merupakan suatu upaya untuk mengubah undang-undang sesuai dengan keinginannya tanpa melalui proses atau mekanisme politik hukum antara pembentuk undang-undang, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif) dan Pemerintah (eksekutif). Karenanya, permohonan pemohon kepada Mahkamah Konstitusi (yudikatif) yang berpotensi menambah/merubah undang-undang tidak hanya “melangkahi” dua institusi lainnya, tapi juga merubah peranan dari MK yang semula penguji undang-undang (negative legislator) menjadi perumus undang-undang (positive legislator).
Permohonan a quo yang memosisikan diri sebagai korporasi jelas tidak dapat disandingkan (aple to aple) dengan para pengguna platform media sosial lainnya yang berbasis internet, yang cenderung para pengguna platform media internet tersebut adalah perseorangan. Bahkan jika ditinjau dari aspek kebermanfaatan, hadirnya media penyiaran yang berbasis internet sebagai penyeimbang informasi bagi warga masyarakat karena dibangun oleh perseorangan yang tidak tunduk pada aturan atau kepentingan korporasi.
Keberadaan media konvensional dengan media yang berbasis internet saat ini belum cukup dinilai sebagai suatu keadaan yang mendesak untuk diberlakukan norma hukum baru. Sebab keberadaan media yang berbasis internet sangat bersentuhan dengan norma-norma hukum yang diatur dalam UU ITE, banyak kasus-kasus ITE yang berdasarkan pada media yang berbasis internet. Terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen electronik, atau konten internet, yang memiliki muatan melanggar hukum, UU ITE dan Peraturan Pemerintah tentang PSTE telah memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk memberikan pengawasan dengan memutus akses informasi elektronik yang melanggar hukum.
Dengan demikian adanya UU Penyiaran untuk mengatur penyiaran berbasis jaringan radio atau konvensional dan adanya UU ITE untuk mengatur penyiaran berbasis internet, tidak menimbulkan rechtvacuum (kekosongan hukum). Pengujian UU Penyiaran oleh korporasi iNews Tv dan RCTI sangat mungkin ditunggangi kepentingan ekonomi. Kerugian ekonomi yang timbul akibat masifnya penyebaran informasi melalui media berbasis internet tidak serta merta dapat didalilkan sebagai kerugian konstitusional, sebab antara kerugian ekonomi dengan kerugian konstitusional sangat jauh berbeda. Selama ini media konvensional masih diberikan kebebasan oleh konstitusi dan Undang-Undang untuk menyiarkan informasi sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat Indonesia, dengan begitu maka konstitusi masih memberikan ruang kepada media konvensional untuk menggunakan hak-haknya sebagai media penyebar informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.