

Saat terjadi perang Badar, pasukan Muslimin berhenti di sebuah sumur yang bernama Badar dan Beliau memerintahkan untuk menguasai sumber air tersebut sebelum dikuasai musuh. Salah seorang sahabat yang pandai strategi perang, Khahab ibn Mundzir r.a. berdiri menghampiri Rasulullah saw. dan bertanya, “Wahai Rasulullah apakah engkau memperhatikan penentuan posisi ini adalah wahyu dari Allah atau hanya strategi perang?”
Beliau menjawab, “Tempat ini kupilih berdasarkan pendapat dan strategi perang.” Kemudian Khahab menjelaskan, “Wahai Rasulullah, jika demikian tempat ini tidak strategis. Lebih baik kita pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh. Kita perdalam sumur-sumur, kita buat lubang-lubang dekat perkemahan dan kita isi dengan air sampai penuh, sehingga kita akan berperang dan mempunyai persediaan air yang cukup, sedangkan musuh tidak” kata Khahab. Rasulullah saw berpikir lalu menyetujui kritikannya sambil tersenyum. “Pendapatmu sungguh baik.” Malam itu juga, Rasulullah saw dan para sahabat melaksanakan usulan tersebut. Dan pasukan pun digerakkan menuju posisi yang diusulkan Khabab.
Hal ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa kritik itu ibarat pedang, bisa berguna maupun jadi malapetaka, tergantung diri kita menyikapinya. Biasanya orang-orang yang berpikiran negatif akan menanggapi kritik sebagai senjata yang akan membunuh dirinya. Sebaliknya orang-orang yang berpikir positif, kritik dijadikan cermin yang mampu memberi gambaran jati diri yang sebenarnya. Dan tentunya ‘cermin’ tidak akan membohongi kita, dia (cermin) menggambarkan apa adanya.
Saat mendapati sesuatu yang kurang cocok dengan hati, muncul keinginan untuk mengkritik. Dalam kehidupan muamalah, mengkritik adalah hal yang wajar untuk saling mengingatkan. Tentu saja dengan kritik yang membangun bukan kritik yang menyakiti, atau kritik yang menghina fisik seseorang yang sedang kita kritik.
Dalam Islam kritik merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, maka kita ada kewajiban untuk saling mengkritisi jika ada sesuatu yang salah atau keliru. Dan ini berlaku bagi kita sebagai insan Ilahi. Termasuk kritik terhadap penguasa. Para penguasa harus siap dikritik jika ada kebijakan yang menyalahi apalagi jika kebijakan itu dzalim terhadap rakyat. Sebagaimana Rasulullah saw, Beliau bukanlah orang yang anti kritik. Beliau adalah manusia biasa yang perlu masukan dari para sahabatnya.
Berkaca dari sosok Rasulullah saw, seorang pemimpin (imam) haruslah sosok pribadi yang taat beragama, adil, ikhlas, teguh pendirian dan tidak jemu untuk bermusyawarah dengan saudaranya, serta bersedia menerima pendapat orang lain, dan pandangan orang lain yang berbeda-beda. Pemimpin harus siap dikritik dan diingatkan oleh rakyat atau bawahannya.
Pada masa sekarang orang menjadi takut untuk mengkritik. Apalagi jika kritikan itu ditujukkan kepada penguasa, mereka enggan untuk menyampaikan kritik karena takut dilaporkan, bahkan dipenjarakan. Dan yang mengkhawatirkan adalah jika sang pengkritik dibalas oleh buzzer-buzzer yang tidak bertanggung jawab, bahkan mereka para buzzer tersebut mencari-cari kesalahan sang pengkritik penguasa.
Islam telah mengajarkan bagaimana kita ber-tawashaibul haq tawaashaubish shobr, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Artinya, kritik harus selalu ada tetapi tentunya kritik yang sesuai koridor syariah Islam, bukan dengan cara membangkang dan memberontak. Selain itu, yang perlu diperhatikan dalam mengkritik adalah tidak dibenarkan mencaci, menghina, dan merendahkan pemerintah. Cara menyampaikan kritikan harus dengan santun. Kritik yang disampaikan pun jangan sampai merusak citra/nama baik pemerintah atau bahkan memfitnah. Rasulullah saw bersabda :
مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ الله فِى الأَرْضِ أَهَانَهُ الله (الترمذى)
“Siapa saja yang menghinakan pemimpin Allah di muka bumi, maka Allah akan menghinakan ia” (HR. Tirmidzi, Abwab l-Fitan no. 2224).
Wa-Llahu a’lam













