عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ. رواه مسلم
Dari Abu Hurairah semoga Allah meridhainya, bahwasanya Rasulullah –shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam- bertanya kepada para sahabat: “Maukah aku tunjukan kepada kalian terhadap suatu amalan yang dapat menghapus kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat?” Para sahabat menjawab: “Tentu, wahai Rasul. Kemudian beliau menjawab: “Menyempurnakan wudhu dalam kondisi kedinginan, memperbanyak langkah ke masjid, dan menunggu shalat berikutnya setelah shalat, maka itulah ribath.”(H.R. Muslim, nomor 251)
Menurut Imam Nawawi, asal ribath adalah bertahan atas sesuatu, seperti seseorang bertahan dalam ketaatan kepada Allah swt. Kemudian Ibnu Katsir membagi pengertian murabith kepada dua macam. Pertama, murabith adalah orang yang istiqamah dalam beribadah kepada Allah swt dengan penuh keteguhan. Kedua, murabith adalah orang yang bersiap siaga dalam peperangan dalam menghadapi serangan musuh. (‘Umdatut Tafsir, juz 1, hal. 453)
Sedangkan menurut Ibnu Hajar, ribath adalah bersiap siaga di perbatasan antara kaum muslimin dan kaum kafir dalam rangka melindungi kaum muslimin. Kemudian Ibnu Hajar mengutip perkataan Ibnu Qutaibah, bahwa asal kata ribath adalah mempersiap-siagakan kuda-kuda mereka untuk berperang. (Fathul Bari, Juz 6, hal. 98)
Orang-orang beriman wajib bersiap siaga dalam hal beribadah kepada Allah ataupun bersiap siaga dalam menghadapi serangan musuh, sebagaimana firman Allah swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصابِرُوا وَرابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kalian beruntung.” (QS. Ali Imran: 200)
Ibnu Hajar mengutip tafsir Al-Hasan Al-Bashri dan Qatadah, menurut keduanya bahwa lafadz ishbiru maksudnya adalah sabar dalam ketaatan kepada Allah swt. Sedang lafadz shabiru maksudnya adalah bersabar ketika berjihad dalam menghadapi musuh-musuh Allah. Adapun lafadz rabithu maksudnya adalah bersiap siaga di jalan Allah. (Fathul Bari, Juz 6, hal. 98)
Ayat di atas menjadi penguat bagi orang-orang beriman, di samping harus bersikap sabar dalam segala hal, juga harus bersiap siaga dalam beramal shaleh, dan berjihad dalam membela agama Allah swt.
Ribath dalam Beribah
Bersiap siaga dalam beribadah kepada Allah swt sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, minimal ada tiga amalan yang senantiasa diamalkan Nabi saw dengan penuh kesungguhan dan terus menerus dilakukan. Ketiga amalan tersebut adalah isbaghul wudhu, memperbanyak langkah ke masjid, dan menunggu waktu shalat.
Isbaghul wudhu menurut Imam Nawawi adalah menyempurnakan wudhu. Sedangkan menurut Ibnu Qudamah adalah meratakan air ke seluruh anggota-anggota wudhu. Adapun menurut Al-Mubaraqfuri isbaghul wudhu adalah menyempurnakan seluruh anggota wudhu dengan cara dicuci, melebihkannya, dan mencuci anggota wudhunya sebanyak tiga kali. (Tuhfatul Ahwadzi)
Isbaghul wudhu juga bisa bermakna konsisten menyempurnakan wudhu dalam kondisi yang sulit, misalnya dalam keadaan cuaca yang sangat dingin, atau fisiknya dalam keadaan sakit, sebagaimana yang dikatakan Imam Nawawi dan Al-Mubaraqfuri.
Kedua, memperbanyak langkah ke masjid. Menurut Imam Nawawi maksudnya adalah memperbanyak langkah pergi ke masjid dengan berjalan kaki, karena rumahnya yang jauh, dan dilakukan dengan berulang kali. (Syarah Muslim, hal. 267)
Oleh karenanya Abdul Hadi bin Sa’id mengatakan, berjalan kaki ke masjid lebih utama dari pada berkendara, kecuali ada kesulitan. (Rauhun wa Rayahin, hal. 676)
Di zaman Nabi Muhammad saw ada seorang sahabat Anshor yang memilih berjalan kaki menuju masjid, dari pada menggunakan kendaraan. Hal ini sebagaimana yang diuraikan dalam hadits berikut:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَجُلٌ لَا أَعْلَمُ رَجُلًا أَبْعَدَ مِنَ الْمَسْجِدِ مِنْهُ، وَكَانَ لَا تُخْطِئُهُ صَلَاةٌ، قَالَ: فَقِيلَ لَهُ: أَوْ قُلْتُ لَهُ: لَوْ اشْتَرَيْتَ حِمَارًا تَرْكَبُهُ فِي الظَّلْمَاءِ، وَفِي الرَّمْضَاءِ، قَالَ: مَا يَسُرُّنِي أَنَّ مَنْزِلِي إِلَى جَنْبِ الْمَسْجِدِ، إِنِّي أُرِيدُ أَنْ يُكْتَبَ لِي مَمْشَايَ إِلَى الْمَسْجِدِ، وَرُجُوعِي إِذَا رَجَعْتُ إِلَى أَهْلِي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «قَدْ جَمَعَ اللهُ لَكَ ذَلِكَ كُلَّهُ» رواه مسلم.
“Dari Ubay bin Ka’ab semoga Allah meridhainya, ia berkata: “Ada seorang laki-laki dari kaum Anshor yang sepengetahuanku tidak ada paling jauh (rumahnya) dari masjid daripadanya, sedangkan dia tidak pernah tertinggal shalat. Maka ia dikatakannya kepadanya atau kusarankan: “Bagaimana sekiranya jika kamu membeli keledai untuk kamu kendarai saat gelap atau saat panas terik? laki-laki itu menjawab: “Aku tidak ingin rumahku di samping masjid, sebab aku ingin jalanku ke masjid dan kepulanganku ke rumah semua dicatat.” Maka Rasulullah saw bersabda: “Telah Allah himpun untukmu semuanya tadi.” (HR. Muslim no. 663)
Berikutnya, menunggu shalat setelah shalat. Menurut Imam Nawawi yang mengutip pendapat al-Qhadhi Abul Walid Al-Baji, maksudnya adalah orang yang senantiasa menunggu waktu shalat. (‘Umdatut Tafsir, hal. 267)
Kemudian menurut Al-Mubarakfuri, maksud “menunggu shalat” adalah menunggu waktu tibanya shalat, dan menunggu shalat berjamaah. Kemudian maksud “setelah shalat” adalah setelah melaksanakan shalat berjama’ah atau munfarid, dia menunggu shalat berikutnya, hati dan pikirannya teringat terus untuk melaksanakan shalat berikutnya, walaupun dalam keadaan sibuk.
Hal ini sudah dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah saw, mereka menunggu shalat isya setelah melaksanakan shalat magrib. Para sahabat tidak pulang ke rumah, tetapi mereka diam di masjid menunggu waktu shalat isya, karena memang waktunya berdekatan.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: ( كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم -عَلَى عَهْدِهِ- يَنْتَظِرُونَ اَلْعِشَاءَ حَتَّى تَخْفِقَ رُؤُوسُهُمْ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اَلدَّارَقُطْنِيّ ُ وَأَصْلُهُ فِي مُسْلِم
“Anas Ibnu Malik –radliya-‘Llahu ‘anhu- berkata: “Pernah para shahabat Rasulullah –shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam- pada jamannya menunggu waktu isya sampai kepala mereka terangguk-angguk (karena kantuk) kemudian mereka shalat dan tidak berwudlu.” (HR. Muslim no. 376 dan Sunan Abu Dawud no. 200)
عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ إِلَيْهَا مَمْشًى، فَأَبْعَدُهُمْ، وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمَ أَجْرًا مِنَ الَّذِي يُصَلِّيَهَا ثُمَّ يَنَامُ» وَفِي رِوَايَةِ أَبِي كُرَيْبٍ: «حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ فِي جَمَاعَةٍ» رواه مسلم.
“Dari Abu Musa semoga Allah meridoinya, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya manusia yang paling besar ganjarannya dalam hal shalat adalah mereka yang paling jauh berjalannya menuju masjid untuk shalat, terus yang paling jauh lagi, dan orang yang menunggu shalat sehingga berjamaah bersama imam, itu ganjarannya paling besar dari pada orang yang shalat kemudian tidur. Dan pada riwayat Abu Kuraib: Sehingga dia melaksanakan shalat berjamaah bersama imam.” (HR. Muslim no. 662)
Ketiga amalan tersebut bagi seorang muslim adalah ribath, yang harus bersiap siap dalam melaksanakan ketiga amalan tadi. Dilakukan dengan terus menerus, bersungguh-sunggguh, dan tentunya dengan niat karena Allah swt. Karena diantara keutamaannya adalah adalah akan dihapus segala kesalahan-kesalahannya dan akan diangkat derajatnya kelak di surga. (Syarah Muslim, hal. 267)
Ribath dalam Peperangan
Ibnu Katsir mengatakan bahwa kata rabithu dalam surat Ali Imran ayat 200 bisa diartikan orang yang bersiap siaga berperang dalam menghadapi orang-orang kafir serta menjaga perbatasan daerah kaum muslimin dari masuknya musuh-musuh Islam. (Umdatut Tafsir, hal. 453)
Keutamaan dan ganjaran bagi murabith dalam pengertian di sini sangat banyak, sebagaimana dalam hadis Rasulullah saw:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «رِبَاطُ يَوْمٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَمَوْضِعُ سَوْطِ أَحَدِكُمْ مِنَ الجَنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَالرَّوْحَةُ يَرُوحُهَا العَبْدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوِ الغَدْوَةُ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا» رواه البخاري
“Dari Sahl bin Sa’d al-Sa’idi semoga Allah meridhainya: “Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Bersiap siaga satu hari di jalan Allah lebih baik daripada dunia dan seisinya. Dan tempat cambuk salah seorang di antara kalian di surga lebih baik dari dunia dan seisinya. Dan berangkatnya seseorang pada waktu pagi atau siang untuk berperang di jalan Allah itu lebih baik dari dunia dan seisinya. (HR. Bukhari no. 2.892)
عَنْ سَلْمَانَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ، وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ، وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ، وَأَمِنَ الْفَتَّانَ» رواه مسلم
“Dari Salman semoga Allah meridhainya, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Bersiap siaga satu hari lebih baik dari shaum sebulan dan shalat malam. Jika ia wafat maka amalnya akan tetap mengalir yang dahulu ia amalkan sewaktu di dunia, rizqinya mengalir, dan ia terbebas dari berbagai fitnah.” (HR. Muslim no. 1.913)
عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «كُلُّ مَيِّتٍ يُخْتَمُ عَلَى عَمَلِهِ إِلَّا الَّذِي مَاتَ مُرَابِطًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ يَنْمُو عَمَلُهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَيَأْمَنُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ» رواه أحمد
“Dari Fadhalah bin Ubaid semoga Allah meridhainya ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Setiap mayyit akan ditutup amal-amalnya, kecuali yang mati dalam keadaan bersiap siaga di jalan Allah. Sesungguhnya amal-amalnya akan tumbuh berkembang pada hari kiamat, dan ia akan terbebas dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad no. 23.951)
Ganjaran bagi murabith di jalan Allah berdasarkan hadits di atas adalah lebih baik dari dunia dan seisinya, bahkan lebih baik dari shaum sebulan penuh beserta qiyamnya. Jika meninggal dunia dalam posisi ribath maka amal-amalnya akan tetap mengalir dan rizqinya mengalir. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt “mereka para syuhada hidup di sisi Rabbnya dan mereka diberi rizqi”. Ruh-ruh para syuhada itu makan dari buah-buahan surga. Kemudian akan terbebas dari fitnah-fitnah. Imam Nawawi mengutip pendapat imam Abu Dawud bahwa maksud terbebas dari berbagai fitnah adalah terbebas dari fitnah kubur.
Ini menunjukan bahwa menjadi murabith tanggung jawab dan amanahnya sangat besar, harus bersiap siaga di perbatasan dalam rangka menjaga daerah kaum muslimin dari serangan atau gangguan musuh-musuh Islam. Ketika daaerah kaum muslimin ada yang menjaga, kaum muslimin bisa hidup tenang, dan leluasa dalam mengamalkan dan menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Di sinilah mengapa pahala dan keutamaan murabith sangat banyatk dan besar ganjarannya. Wa-Llahu A’lam
Penulis: Oman Warman (Staf Pengajar Pesantren Persatuan Islam 27)